Coba
lo pergi ke mal atau supermarket, pasti sebagian besar pengunjungnya adalah
kaum wanita. Wanita memang dikenal sebagai ‘tukang belanja’. Memang, tidak
semuanya begitu. Terkadang, laki-laki juga suka berbelanja. Tetapi mungkin yang
membedakan adalah intensitasnya. Wanita lebih sering (dan lebih senang) belanja
dibandingkan laki-laki.
Laki-laki
biasanya berbelanja barang-barang yang memang dibutuhkan olehnya. Kalaupun
belanja untuk kesenangan, laki-laki lebih membeli barang-barang yang termasuk
barang kesukaannya, seperti aksesoris mobil, gadget atau yang berhubungan
dengan hobinya. Sedangkan wanita, bisa jadi berbelanja semuanya. Mulai
barang-barang yang dibutuhkan, seperti keperluan rumah tangga, sampai
barang-barang yang tidak penting sekalipun. Itulah sebabnya, pihak pengelola
pusat perbelanjaan selalu memiliki cara untuk memikat para pembeli yang
berjenis kelamin wanita.
Menurut
beberapa teori, hal ini berkaitan dengan masalah ‘genetik’. Sejak zaman dahulu,
wanita ditakdirkan untuk menjadi ibu rumah tangga yang bertugas mempersiapkan
kebutuhan rumah tangganya. Wanita juga dituntut untuk membuat keadaan rumah
menjadi lebih menyenangkan untuk keluarganya. Dalam hal makanan, wanita harus
memilih bahan-bahan makanan yang baik untuk keluarganya. Kemungkinan besar, hal
itulah yang menjadi penyebab munculnya ‘material desire’ atau keinginan untuk
memiliki barang-barang bagus dalam diri seorang wanita.
Di
sisi lain, perkembangan dunia telekomunikasi dan periklanan juga membuat para
wanita semakin menggemari kegiatan yang disebut belanja atau shopping ini. Hal
ini membuat wanita merasa memiliki hubungan dengan barang-barang yang muncul di
media atau iklan, oleh karenanya mereka menjadi merasa memiliki kewenangan
untuk memilih dan memutuskan barang-barang yang akan dibeli.
Kalau
Kita tengok ke belakang, sekitar tahun 1920-an terjadi sesuatu yang disebut
‘liberation movement’ yang dilakukan para wanita. Pergerakan ini terjadi karena
wanita juga merasa berhak untuk mengambil keputusan, termasuk dalam hal
keuangan. Para wanita menjadi merasa semakin berhak untuk membeli sesuatu yang
mereka inginkan atau membelanjakan uang sesuai dengan keinginannya.
Selain
itu, bagi para wanita, berbelanja bukan hanya sekadar memilih dan membeli
barang. Belanja juga menjadi salah satu sarana bersosialisasi. Saat belanja,
para wanita akan bertemu dengan banyak orang, melihat berbagai produk baru dan
menemukan ide-ide baru. Bagi wanita, belanja bukan hanya membeli barang, tapi juga
menjadi kegiatan rekreasi. Saat melihat produk-produk yang ada di toko atau
pusat perbelanjaan, wanita merasa berhak untuk menentukan penampilan yang
diinginkan, atau membuat rumah mereka menjadi lebih nyaman dan menyenangkan.
Inilah yang menjadi dorongan bagi wanita untuk berbelanja.
Tidak
hanya itu. Aroma persaingan juga turut berperan. Wanita selalu senang jika
merasa ‘lebih’ dibandingkan dengan teman-temannya. Setiap wanita ingin membuat
teman-temannya terkesan. Sering, barang-barang yang dibeli kaum wanita adalah
yang menurutnya mampu membuat teman-temannya
terkesan kepadanya. Sederhananya, berbelanja bagi wanita adalah masalah
kebebasan, kepuasan dan harga diri.
Studi Ilmiah mengatakan, seorang dosen dari British
Psychological Society, Karen Pine, seperti dilansir BBC mengatakan bahwa wanita
memang memiliki hormon berbelanja. Hormon ini muncul bersama dengan siklus
menstruasi. Hormon ini biasanya meningkat saat periode menstruasi berakhir.
Hormon ini membuat wanita merasa sangat tidak nyaman. Mereka menjadi merasa
stress dan depresi, sehingga wanita memilih untuk berbelanja sebagai hiburan.
Menurut Karen, belanja dapat menjadi sarana untuk mengatur kembali emosi
mereka. Tidak jarang, wanita yang belanja berlebihan di akhir periode menstruasi ini
mengaku merasa menyesal telah membeli barang-barang yang sebetulnya tidak
mereka butuhkan. Oleh karena itu, Karen menyarankan agar para wanita menghindari
tempat-tempat perbelanjaan saat hari-hari terakhir menstruasi.
Comments
Post a Comment